Kabuyutan dan Mandala Raja Galuh Kertabumi Di Gunung Susuru Ciamis
Kampung Bunder terletak di Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Di tempat ini terdapat situs sejarah yang nilainya sangat penting bagi Kabupaten Ciamis dan Kotif Banjar. Oleh masyarakat setempat, situs itu disebut Gunung Susuru. Sebetulnya tempat tersebut lebih merupakan sebuah bukit ketimbang disebut gunung. Namun karena babasaan di masyarakat sudah biasa sejak ratusan tahun maka sampai saat ini pun nama Gunung Susuru pun tetap lestari. Di sebut Gunung Susuru karena konon ditempat tersebut merupakan leuweungna tangkal Susuru, yaitu sejenis kaktus yang hanya tumbuh di tempat itu saja.
“Gunung Susuru merupakann tanah desa namun tahun 1960 diolah oleh masyarakat untuk ditanami pohon jagung. Oleh sebab dibukbak dibuat huma, poho susurunya terbawa ke babat. Cuma masa penggunaan untuk penanama tanah tersebut cuma 15 tahun lamanya, da sejak tahun 1975 ditinggalkan dan tak ditanami lagi” Papar Ki Adang (60th), juru Pelihara Situs sejak tahun 2000. Sedangkan Juru Kunci dipegang oleh Ki Eman (80 th).
Lebih jauh Ki Adang menjelaskan, semenjak tidak diolah lagi Gunung Susuru keadaanya sangat gersang dan terbengkalai hampir selama 25 tahun. Memang semenjak di olah oleh masyarakat, di lokasi tersebut banyak ditemukan berbagai benda baik yang berbahan tulang, batu, tanah liat, keramik, manik-manik maupun dari besi.
Namun pada saat itu, pemahaman masyarakat tentang nilai sejarah belum tumbuh, sehingga benda-benda yang ditemukan tersebut banyak yang hilang, atau dijadikan jimat dan koleksi pribadi. Hanya sebagian kecil saja yang diserahkan kepada pemerintah.
Temuan Benda Cagar Budaya Bergerak (BCB) kini disimpan oleh Ki Adang dan benda-benda tersebut di antaranya, Fosil tulang dan gigi manusia, Kapak batu, dua buah batu slinder, Lumpang Batu, Batu Korsi, Menhir dan Dolmen, Batu Peluru, Piring dan Poci Keramik serta 3 buah keris dengan luk berbeda.
Situs Gunung Susuru dibatasi oleh sungai Cileueur disebelah Selatan, Sungai Cimuntur sebelah utara, Patimuan sebelah tumur, Benteng Kuno sebelah utara.
Patimuan merupakan daerah pertemuan dua sungai Cimuntur dan Cileueur. Sedangkan Benteng Kuno membentang melintasi desa dari sisi Cimuntur ke sisi Cileueur sepanjang kurang lebih 2 km. Benteng Kuno tersebut terbuat dari susunan Batu dengan ketinggian 1 meter. Tetapi kini keadaanya tidak utuh lagi dikarenakan alurnya melintasi daerah permukiman sehingga oleh masyarakat batunya dipergunakan untuk pembangunan rumah. Sebagian lagi digunakan pembuatan jalan aspal. Di beberapa tempat pondasi maupun strukturnya masih dapat dilihat walau kurang jelas.
Gunung Susuru merupakan patilasan dari kerajaan Galuh Kertabumi yang didirikan oleh Putri Tanduran Ageung, putri dari Raja Galuh yang bernama Sanghyang Cipta, berkedudukan di Salawe, Cimaragas. Putri ini menikah dengan Rangga Permana, keponakan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610 M) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).
Dan sebagai hadiah pernikahannya adalah wilayah Muntur (ditepi sungai Cimuntur). Di tempat inilah kemudian berdiri Kerajaan Galuh Kertabumi dengan rajanya yang bergelar Prabu Dimuntur pada tahun 1585 M. Dan kerajaan ini merupakan cikal bakal kota Banjar saat ini.
Galuh Kertabumi merupakan kerajaan wilayah, bagian dari dinasti Kerajaan Galuh Pangauban yang didirikan oleh Prabu Haur Kuning di Putrapinggan Kalipucang (diperkirakan sekitar 1530 M). Raja ini memiliki tiga orang putra yang bernama ;
1, Maharaja Upama,
2. Maharaja Sanghyang Cipta
3. Sareuseupan Agung.
Sebagai anak tertua, Maharaja Upama mewarisi kerajaan Galuh Pangauban dari ayahnya. Maharaja Sanghyang Cipta diberi wilayah Salawe (Cimaragas) dan mendirikan Kerajaan Galuh Salawe. Sedangkan Sareuseupan Agung menjadi Raja di wilayah Cijulang.
Maharaja Sanghyang Cipta mempunyai 3 orang putra yang bernama ;
1. Tanduran Ageung (Tanduran Gagang),
2. Cipta Permana,
3. Sanghyang Permana.
Tanduran Ageung kemudian menikah dengan Rangga Permana, keponakan Prabu Geusan Ulun (Angkawijaya) pada tahun 1585 M. Wilayah Muntur pun diberikan oleh Maharaja Sanghyang Cipta sebagai hadiah perkawinan. Di wilayah tersebut kemudian berdiri Kerajaan Galuh Kertabumi dan Rangga Permana diberi gelar Prabu Dimuntur. Raja ini memerintah dari tahun 1585 - 1602 M.
Adiknya Tanduran Ageung, yang bernama Cipta Permana diberi wilayah Kawasen (Banjarsari) dan mendirikan kerajaan Galuh Kawasen. Sedangkan Sanghyang Permana mewarisi kerajaan ayahnya, memerintah di Galuh Salawe (Cimaragas) dengan gelar Prabu Digaluh.
Masa berdirinya Kerajaan Galuh Kertabumi merupakan masa pengembangan agama Islam dari Cirebon dan Sumedang ke wilayah-wilayah kerajaan Galuh. Salah satu penyebarannya adalah dengan melangsungkan pernikahan antara keluarga kerajaan yang masih menganut agama pra Islam dengan kerajaan yang sudah diislamkan oleh Cirebon.
Hal tersebut dilakukan oleh Rangga Permana dengan Tanduran Ageung. Dan jejak Tanduran Ageung diikuti oleh Cipta Permana yang menikahi Putri Maharaja Kawali yang sudah Islam. Tokoh yang mengislamkan Kawali saat itu adalah Adipati Singacala dari Cirebon (makamnya di Astana Gede Kawali). Sejak saat itulah pengaruh Islam semakin kuat di Kerajaan-kerajaan Galuh.
Menurut riwayat dari wilayah Talaga, Prabu Haur Kuning ternyata merupakan generasi ke empat Prabu Siliwangi. Ayah dari Prabu Haur Kuning bernama Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umun Talaga) yang menikah dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang / Wulansari). Sedangkan ayah Rangga Mantri adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Munding Surya Ageung. Rangga Mantri yang awalnya beragama Budha masuk Islam setelah ditaklukan Cirebon tahun 1530 M.
Dalam Riwayat lain, disebutkan pula tokoh Anggalarang sebagai salah satu putra Prabu Haur Kuning. Anggalarang adalah suami dari Dewi Siti Samboja yang kelak menciptakan Ronggeng Gunung. Tokoh Anggalarang diduga kuat adalah nama lain dari Maharaja Upama sebelum menjadi Raja. Sebagai pembanding, keterangan lainya menyebutkan di wilayah Pangandaran juga terdapat kerajaan Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung dan beribukota Bagolo yang jauh sebelumnya pernah dikunjungi Bujangga Manik.
Menurut Babad Imbanagara yang disusun Ir. Rd. Gumiwa Partakusumah, Raja Bagolo adalah Sawung Galing yang menikahi Dewi Siti Samboja yang menjadi janda setelah suaminya yaitu Raden Anggalarang meninggal terbunuh Bajo (Perompak Laut).
Sawung Galing dalam sejarah Ronggeng Gunung adalah patih yang diutus oleh Prabu Haur Kuning untuk membantu Dewi Samboja dalam membalaskan kematian suaminya yaitu Anggalarang.
Di beberapa daerah (Talaga, Majalengka, Sumedang dan Ciamis) adanya kesamaan nama beberapa tokoh sejarah ternyata saling memperkuat keberadaannya, walau terkadang sedikit berbeda, baik jujutan tahun keberadaanya, garis silsilah, riwayat hidup, maupun nama kerajaannya. Namun semuanya rata-rata bersumber atau berasal dari keturunan yang sama, yaitu seuweu-siwi Prabu Siliwangi, penguasa agung Kerajaan Pajajaran.
Raden Permana adalah putra dari Kyai Rangga Haji, dan cucu dari Pangeran Santri hasil pernikahan dengan Ratu Pucuk Umun. Kiyai Rangga Haji merupakan putra kedua dari 6 bersaudara sedangkan kakaknya yang tertua bernama Raden Angkawijaya yang terkenal dengan nama Prabu Geusan Ulun. Jadi Rangga Permana atau Prabu Dimuntur adalah keponakan Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya).
Sang Raja Cita, salah seorang putra Prabu Dimuntur, menjadi penguasa Kertabumi berikutnya dengan pangkat Adipati, bergelar Kertabumi I (1602 - 1608 M). Sedangkan pada waktu itu kekuasaan Prabu Geusan Ulun di Sumedanglarang (1580 - 1608 M) meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh Ciamis dengan Kutamaya sebagai ibukota kerajaannya.
Putri Raja Cita bernama Natabumi diperistri oleh Dipati Panaekan, pada saat itu pengaruh Mataram Islam dibawah pemerintahan Mas Jolang yang bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613 M) mulai masuk ke wilayah Galuh. Sedangkan putra kedua Raja Cita yang bernama Wiraperbangsa kelak menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Adipati Singaperbangsa I (1608-1618 M). Raja Cita dimakamkan di Kampung Buner, Desa Bojongmengger.
Riwayat Kota Banjar yang dimulai dari Galuh Kertabumi semakin berkembang ketika Singaperbangsa I memindahkan pusat Kerajaan Galuh Kertabumi dari Gunung Susuru ke Banjar Patroman (Desa Banjar Kolot). Penyebab perpindahan tersebut, akibat terjadinnya perselisihan faham antara Singaperbangsa I dengan Adipati Panaekan (kakak iparnya) dalam rencana penyerangan terhadap Belanda di Batavia.
Adipati Panaekan condong kepada rencana Dipati Ukur untuk menyerang secepatnya ke Batavia sebelum kekuatan Belanda makin besar. Sedangkan Singaperbangsa I lebih sependapat dengan Rangga Gempol yang merencanakan membangun kekuatan dengan mempersatukan wilayah Priangan. Rangga Gempol adalah penguasa Sumedanglarang (1620 - 1625 M) dan berada dibawah pengaruh Sultan Agung Mataram.
Akibat perselisihan tersebut membuat Adipati Panaekan terbunuh. Jasadnya dihanyutkan ke Sungai Cimuntur kemudian dimakamkan di Karangkamulyan. Akibat peristiwa tragis itu membuat Singaperbangsa I tidak genah tinggal di Gunung Susuru, sehingga akhirnya pindah ke Banjar Patroman.
Ketinggian Gunung Susuru mencapai sekitar 200 meter. Dari atas puncaknya pandangan mata pun akan dimanjakan dengan keindahan alam yang menggetarkan. Hamparan sawah nampak serasi beradu manis dengan rangkaian perbukitan.
Seperti umumnya kemandalaan atau kabuyutan selalu dilintassi atau diapit oleh dua sungai besar di sisi kiri-kanannya. Dua sungai tersebut yaitu Cimuntur dan Cileueur yang bertemu di ujung gunung sebelah selatan. Dan tempat pertemuan kedua sungai tersebut dinamakan Patimuan.
No comments:
Post a Comment