Bila tak ada aral-melintang, di kompleks situs Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 11-12 November 2012, akan ada upacara ritual ucapan permohonan maaf trah (keturunan) Majapahit kepada Kerajaan Sunda atas tragedi di Bubat pada 1357. Permohonan maaf akan diucapkan kepada keturunan Pajajaran. Wakil dari trah Pajajaran yang menerima undangan resmi adalah Ir. Raden Roza Rahmadjasa Mintaredja IAI Sri Paduka Wangsa Natakusumah dari Lembaga Adat Keraton Padjadjaran.Di kalangan warga Sunda yang telanjur tahu rencana ini, tentu mendatangkan komentar beragam. Ada yang berpendapat, bila benar pihak Majapahit akan mengajukan permohonan maaf atas tragedi di Bubat sekitar 1357 Masehi, mengapa disampaikan kepada “trah Pajajaran” dan bukannya kepada trah “Kerajaan Galuh”, bukankah dulu peristiwa Bubat berlangsung tatkala penguasa Sunda adalah Prabu Linggabuana yang notabene penguaasa Kerajaan Galuh? Bukankah peritiwa di Bubat itu merupakan pertikaian Mapajahit dan Galuh? Dikatakan oleh mereka, bahwa tatkala Perang Bubat berlangsung, Pajajaran belum ada, sebab baru didirikan pada 1482 Masehi.Namun ada juga yang memaklumi, mengapa permohonan maaf oleh pihak trah Majapahit atas tragedi Bubat akan dilakukan kepada trah Pajajaran. Berdasarkan catatan sejarah yang diakui, selepas Prabu Jayadewata dinobatkan sebagai raja (dan kemudian berjuluk Sri Baduga Maharaja) pada 1482 Masehi, telah terjadi fusi dari dua kerajaan besar di tanah Sunda. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dipersatukan/dilebur, maka terbentuklah Kerajaan Pajajaran.“Pajajaran itu keturunan Galuh dan Kerajaan Sunda. Maka tatkala Galuh dan Sunda sudah tiada karena peleburan, tentu kerajaan yang sah di Jawa Barat adalah Pajajaran,” tutur salah seorang pemerhati sejarah Sunda.“Permasalahan” tidak cukup sampai di sini, sebab muncul lagi pertanyaan lain. Mengapa yang mewakili hadir ke Trowulan sana hanya diwakili oleh Ir Raden Roza?“Ya, ngga tau lah, saya hanya menerima undangan saja,” tutur Ir. Raden Roza enteng tatkala ditemui di rumahnya di Bandung. Namun kata Roza, dia mendengar khabar bahwa kelompok Sunda lain yang mengaku keturunan, baik sesama keturunan Pajajaran, keturunan Galuh, bahkan ada yang mengaku keturunan Tarumanagara, akan ikut hadir kendati tidak menerima undangan.Sebetulnya upacara ritual di Trowulan bukan itu saja. Mungkin upacara puncak da sana adalah peringatan Hari Kelahiran Kerajaan Majapahit yang ke 719 dan HUT ke 4 The Sukarno Center Tampaksiring, dilaksanakan pada 11-12 November 2012 di wilayah Jawa Timur. Di kegiatan itu, akan ada ritual permohonan maaf dari trah Majapahit kepada trah Pajajaran atas tragedi Bubat dan mereka menyebutnya sebagai upacara “Ritual Guru Piduka Persatuan Trah Majapahit dan trah Pajajaran.” Bertempat di Situs Keraton Majapahit, Trowulan, Mojokerto. Upacara ini bisa disebut berskala besar sebab akan dihadiri oleh kelompok-kelompok penting. Selain seluruh Raja-raja dan sultan di Nusantara diundang, juga akan dihadiri oleh pejabat dari jajaran Pemerintah dari mulai tingkat regional Jawa Timur hingga pejabat di jajaran Pemerintah Pusat.Akan berujung kepada nuansa politikkah kelak, mengingat 2014 sudah dekat? Tidak jelas benar. Namun yang patut disimak, bahwa di tahun-tahun belakangan ini, memang ada upaya mempersatukan dan mempererat tali silaturahim di sesama Keraton Nusantara. Sudah beberapa kali berlangsung, pertemuan silaturahim di kalangan Raja-raja dan Sultan Nusantara, bahkan kalau hanya sekadar festival budaya Keraton Nusantara, sudah beberapa kali diselenggarakan.Para raja/sultan sudah sepakat, harus ada persatuan dan persaudaraan yang lekat di sesama raja/sultan di Nusantara termasuk para trahnya. Persaudaraan dan persatuan di antara trah Majapahit dan Sunda (yang kini diwakili oleh trah Pajajaran), merupakan catatan khusus yang harus lekas dilakukan. Mungkin “upacara permohonan maaf atas tragedi Bubat”, mengingat peristiwa lama ini sepertinya masih tetap jadi “ganjalan” bagi mereka yang fanatik dan selalu mengingat kejadian masa lalu. Mereka yang fanatik dan selalu menyimak kisah-kisah Bubat di catatan naskah Kidung Sunda misalnya, akan tetap merasakan kepiluannya dan hal ini dirasakan akan “mengganggu” usaha-usaha persatuan bangsa, termasuk persatuan di sesama Keraton Nusantara.Tentu, orang Sunda yang fanatik selalu menyimak kisah di Naskah Kidung Sundayana akan selalu bersedih dan memendam dendam. Betapa tidak, dalam versi naskah ini, disebutkan Gajah Mada yang serakah dan ambisius, telah meluluh-lantakkan kehormatan orang Sunda. Karena Putri Dyah Pitaloka harus dijadikan sebagai upeti dan tidak untuk menjadi permesuri, maka timbul pertempuran tak seimbang. Di Lapangan Bubat, timbul pertempuran tak seimbang. Prabu Linggabuana Raja Kerajaan Galuh gugur dan putrinya bunuh diri. Sekurang-kurangnya begitu kata naskah Kidung Sundayana. Maka bila orang Sunda fanatik membcanya, maka tak pelak timbul kebencian terhadap Jawa. Ratusan tahun lamanya tatar Sunda tak kerasan dengan nama-nama berbau Gajah Mada, Majapahit atau Hayam Wuruk.Demi persatuan NKRI, itulah mungkin akan dilangsungkan upacara permohonan maaf. Bila peristiwa ini jadi berlangsung, maka kemungkinan yang melakukan upacara “Ritual Guru Piduka” adalah Raja Muda Kerajaan Majapahit Sri I Gusti Ngurah Arya Wedakrama MWS III terhadap Raden Roza Rahmadjasa Mintaredja IAI Sri Paduka Wangsa Nata Kusumah sebagai wakil dari trah Pajajaran.Semua semata-mata hanya untuk keutuhan NKRI dan tak ada agenda politik. Namun bila seluruh trah Keraton Nusantara bersatu, maka tidak mustahil akan menjadi sebuah kekuatan politik yang handal. Bukankah sudah dibuktikan bahwa hanya di kalangan pecinta keraton saja kebanyakan masyarakat memiliki fanatisme tanpa syarat? Ayo, semua calon penguasa baru negri ini, berlomba-lombalah mendekati para Raja Nusantara, hehehe. ***Aan Merdeka Permana
No comments:
Post a Comment